Bokushinu Volume 1 Chapter 1 - Sekkinokyou

Latest

Fans Tranlation LN/WN Bahasa Indonesia

Selasa, 01 Agustus 2017

Bokushinu Volume 1 Chapter 1

 

Chapter 1 – Hari Ini, Aku di Kebun Semangka. Aku Lupa Ingatan

“Aku lupa ingatan.”

“Gara-gara menghabiskan malam yang penuh gairah dengan pacarmu, kamu sampai lupa ingatan? Ini sebabnya kamu dianggap berandal.”


“Makanya, dengarkan yang betul! Aku benar-benar lupa ingatan!”

“Lagi pula, kenapa kamu tidak berbicara dengan sopan padaku? Ini sebabnya kamu dianggap berandal.”

“Bu, tolong jangan bercanda. Aku serius. Aku benar-benar lupa ingatan.”

“Ya ampun, kenapa kamu harus lahir dengan wajah semenyeramkan itu? Jadi ini—”

“Kuhajar kamu.”

Ini hari Senin.

Tidak, tunggu. Ini hari Selasa.

… sepertinya begitu. Ingatanku menunjukkan kalau ini adalah hari pertama aku ke sekolah dalam pekan ini.

Jelasnya, kami sedang berada di UKS, dan aku sedang mengobrol dengan perawat sekolah. Hanya ini fakta yang bisa kupastikan, dan bagian lainnya masih tidak jelas bagiku.

“Lalu? Kapan kamu mulai lupa ingatan, Akitsuki?”

Perawat sekolah yang bernama Higumo ini berbicara dengan jelas padaku, dan dia memanggilku dengan nama depan.

Sekarang sudah musim semi, tapi guru yang satu ini memakai selendang biru muda yang menutupi jas putihnya. Pasti dia tidak paham dengan pergantian musim.

Dia adalah subyek kecantikan di kalangan murid lelaki dengan lekuk tubuh sensual disertai wajah yang cantik, dan di saat ini, dia melonggarkan kerahnya sambil menyilangkan kaki layaknya seorang ekshibisionis, berusaha untuk menggodaku. Meski begitu, tidak ada artinya bagiku karena aku tidak suka segala yang menyimpang. Itu sebabnya, tidak perlu dia mencondongkan dadanya ke hadapanku sejak tadi, dan tidak usah sampai mengangkat kakinya lagi. Aku ini lelaki, tahu?

Angin sejuk musim semi berembus melewati jendela, mengibarkan rambut panjangku seraya memenuhi ruang UKS dengan aroma menyegarkan. Tidak, tunggu, ini bukan waktunya membicarakan itu. Tidak perlu sampai seperti itu.

“Aku tidak bisa mengingat apa pun sejak hari Senin. Aku tidak bisa mengingat apa pun dari waktu aku tidur di Minggu malam sampai saat aku terbangun.”

“Apa yang terjadi saat kamu terbangun?”

“Aku berada di kebun semangka.”

“… baiklah ….”

Meski kurasa kalau yang kukatakan tadi cukup aneh. Tapi itulah kenyataannya. Mau bagaimana lagi?

Ditambah, ini bukanlah bagian yang teranehnya.

“Aku berencana pulang ke rumah untuk mandi, tapi saat aku sadar kalau itu sudah sangat terlambat, aku berubah pikiran dan langsung berangkat ke sekolah dengan membawa diriku yang tidak sadar bahwa hari ini sebenarnya Selasa.”

“Biar kupikir dulu, apa itu artinya kalau kamu berencana mandi di antara semangka-semangka?”

“Bukan itu maksudku!”

Setelah tertidur di hari Minggu, aku terbangun di kebun semangka. Setelah sampai di sekolah, aku sadar bahwa hari ini ternyata hari Selasa. Aku tidak tahu apa yang sedang kukatakan ini, dan aku juga sulit untuk mengekspresikannya.

“Hei, itu namanya ketiduran, tahu? Berandal nomor satu di sekolah ini memang sesuai dengan reputasinya.”

“Itu sangat mustahil!”

“Berarti kamu mabuk. Ya, ‘kan? Berandal nomor satu di sekolah ini memang sesuai dengan reputasinya.”

“Aku tidak mabuk.”

“Berarti itu gara-gara wajahmu yang menakutkan. Berandal nomor satu di sekolah ini memang–”

“Cukup! Atau kuhajar kamu!”

Aku melotot ke arah perawat sekolah yang selalu mengocehkan omong kosong itu.

Kebodohannya ini tampaknya juga populer di kalangan para murid, dan aku tidak tahu alasannya. Sejujurnya, aku sebenarnya tidak begitu ingin berkonsultasi pada guru yang acuh tak acuh ini, tapi aku juga tidak punya keberanian untuk pergi ke rumah sakit dan memberi tahu dokter, “Yah, begini, aku sepertinya lupa ingatan. Hehehe,” kalau memang bisa, kuharap ini hanya sebuah salah paham yang besar.

“Hmm, biar bagaimanapun, jika dilihat lebih serius, ide paling masuk akal adalah kamu sedang kebingungan membedakan antara hari Minggu atau hari Senin? Yah, walau itu tidak akan begitu realistis.”

“Memang.”

Aku mengerti yang dimaksudkannya, tapi yang pasti bukan itu.

Itulah alasan yang membuatku harus berkonsultasi dengan perawat sekolah yang sembrono ini.

“Tolong dengar baik-baik. Pagi ini, aku dengar dari ibuku bahwa kemarin setelah aku bangun lalu bercermin, tiba-tiba aku berteriak aneh dan berlari keluar, dan sejak saat itulah keberadaanku tidak diketahui. Rupanya aku masih memakai piama. Meski begitu, aku tidak mampu mengingat apa pun, itu artinya ….”

“….”

“….”

Suasana hening menghinggapi kami.

“Itu gara-gara wajahmu yang menakutkan, makanya ….”

“Sudah, cukup! Apa kamu sangat suka menyinggung hal itu?”

Higumo tertawa kecil, dan akhirnya memutuskan untuk serius menanggapiku.

“Yah, kurasa yang kamu katakan itu benar.”

Dia menyilangkan kakinya sekali lagi sambil menempelkan jari telunjuk ke bibirnya lalu berkata,

“Ini kasus hilang ingatan.”

“Ah.”

Hilang ingatan.

Aku tidak ingin mengakuinya, tapi tidak ada kemungkinan lain.

“Hilang ingatan, ya?”

Higumo bergumam sambil memilin ujung rambutnya yang panjang. Dia terlihat sedang memikirkan hal ini.

“Meski bisa dipastikan kalau itu kasus hilang ingatan, tapi jenisnya ada banyak, bervariasi mulai dari, ‘Di mana ini? Siapa aku?’ bermacam kasus retrograde amnesia yang paling banyak ditemukan, hingga, ‘Aku ingat semuanya sampai di saat aku mendorong Bu Higumo ….’ dalam kasus ini, kamu tidak mampu mengingat episode spesifik dari ingatanmu. Rentang ingatanmu yang hilang itu bisa sangat besar. Aku menduga kalau keadaanmu saat ini ada di poin yang terakhir. Ya, ‘kan?”

“Iya, aku cukup yakin seperti itu.”

“Jadi kamu mengakui fakta kalau kamu tadi mendorongku?”

“Ayo kembali ke topik ….”

Aku belum kehilangan semua ingatanku, buktinya adalah fakta kalau aku bisa dengan mudah memperkenalkan diri.

Namaku Akitsuki Sakamoto.

Aku sekolah di SMA Sakurahime, sekarang aku kelas dua SMA.

Aku anak sulung dari empat orang anggota keluarga, dan aku punya seorang adik perempuan.

Tinggiku 1,85 meter dan berat 70 kg.

Ulang tahunku bertepatan dengan ulang tahun pesepakbola favoritku.

Hobiku mengunjungi kuil saat musim panas dan musim dingin.

Aku lahir dengan wajah menakutkan, karenanya, aku jadi punya reputasi sebagai berandal.

Lalu, aku tidak punya satu pun teman. Ditambah, semua orang di kelas berusaha menjauh dariku. Setiap kali kami bertukar kursi, bisa kulihat para gadis yang bersebelahan denganku langsung menunjukkan ekspresi sedih. Ini terjadi berkali-kali hingga aku sudah terbiasa dengan itu.

Mengalami diskriminasi semacam ini yang bahkan sejak aku SD, membuatku tersesat, hingga aku menjadi berandal sungguhan. Teman sekelasku, tetangga, para guru, pokoknya orang-orang di dunia ini mulai memandang hina diriku. Bahkan adik perempuanku sendiri mulai mengataiku, “Jangan bicara padaku, dasar sampah,” semua orang menghakimiku karena penampilanku. Ya sudah, Aku mampu untuk mengabaikan apa yang orang lain pikirkan tentangku.

“Ha-hah? Akitsuki, kamu menangis.”

“Aku tidak menangis! Katakan itu lagi, kuhabisi kamu!”

“Oh, begitu.”

Higumo berhenti menanyakan hal tidak penting itu lalu menguap.

Kurasa masih ada orang yang mengerti bahwa sebuah hal yang sulit untuk menguap sespontan itu.



“Berarti kamu memang lupa ingatan. Tapi meski kamu mengatakannya, tidak ada yang bisa kami lakukan. Mungkin ada masalah dengan otakmu, jadi apa kamu mau kami beri rujukan ke rumah sakit?”

“Tidak, lupakan rumah sakit.”

Aku tidak mau menimbulkan kehebohan.

“Kamu ini memang keras kepala, ya?. Apa boleh buat. Tapi ayo periksa dulu keadaanmu yang sekarang.”

“Keadaanku yang sekarang ….”

Kami tidak memecahkan masalah, tapi itu benar bahwa tidak ada lagi yang bisa kami lakukan.

Cih, jadi tidak ada jalan keluar?

Karena putus asa, aku berdiri dari kursi.

“Dah, mungkin aku akan kembali lagi.”

“Ah, omong-omong, Akitsuki ….”

Hmm? Karena mendengar suara lelah Higumo, aku lalu berbalik menghadapnya.

“Rambutmu sudah sangat gondrong, ‘kan? Itu melanggar aturan sekolah. Jika kamu memotongnya lebih pendek, Kamu akan terlihat lebih keren.”

“Aku ini berandal, jadi tidak masalah.”

“Berandal nomor satu di sekolah ini memang sesuai dengan reputasinya. Kamu boleh datang kapan saja kemari.’

Sial, untuk apa aku mau kemari lagi?

Guru yang seksi itu kemudian melipat tangannya. Dan aku pun mendecakkan lidah lalu membanting pintu dengan amarah.

******

Aku menuruni lorong yang diliputi sinar matahari ini.

Cuaca yang bagus, seolah badai kemarin memang tidak pernah datang.

Ralat, maksudku kemarin lusa. Aku tidak tahu apa kemarin langitnya cerah atau tidak.

Hawanya sangat panas, aku bisa banjir keringat kalau memaksakan berlari, dan lorong ini sudah dipenuhi murid-murid yang dengan cerianya saling mengobrol selama istirahat.

Sudah beberapa hari berlalu sejak aku naik ke kelas dua SMA.

Ada kelompok biasa yang suka berkumpul di lorong sejak tahun kemarin, dan beberapa kelompok yang baru terbentuk.

Tentu saja itu tidak ada hubungannya denganku. Jika aku harus mengatakan sesuatu, paling-paling jangan menguap sewaktu berjalan di lorong.

Dengan murung aku mendesah, dan perlahan membuka pintu kelas.

Tiba-tiba, hampir seluruh teman sekelasku memusatkan pandangannya padaku.

Meski begitu, sebelum mata kami bertemu, mereka akan mengalihkannya.

“Haaa ….”

Tempat dudukku berada di tengah barisan belakang.

Aku menyenderkan belakang kepalaku di kedua telapak tangan sembari menunggu waktu berlalu. Siapa pula yang mau menegurku?

“Hei, apa benar yang dikatakan Mariko itu?”

“Iya, sepertinya begitu. Rupanya dia diganggu sama anak-anak berandal di kelas tiga.”

Biarpun begitu, aku tahu bahwa tidak ada orang yang akan datang dan bicara padaku, itu sebabnya aku jadi menguping pembicaraan orang-orang.

“Itu cukup menakutkan. Andai saja para guru mau lebih memperhatikan.”

“Percuma. Para guru di sekolah ini hanya bisa gemetar ketakutan. Lagi pula, kelas kita–”

Tepat di saat itu, dia mulai memelankan suaranya dengan tidak wajar.

Aku? Apa dia sedang membicarakanku?

Biar kuperjelas dulu. Aku tidak sedikit pun berbuat onar hanya karena aku dianggap berandal.

Mungkinkah keberadaanku itu sendiri merupakan sebuah masalah? Atau aku menjadi sebuah beban dikarenakan aku hidup?

Jika memang begitu, aku tidak bisa membantumu. Hahaha, mati sana!

“Cih.”

Tanpa sengaja aku langsung mendecakkan lidah, aku tersadar kalau telah melakukan sesuatu yang buruk.

Sudah kuduga, para gadis mulai gemetar dan mendadak berdiri lalu berlari ke pojok kelas.

Karena syok, gadis-gadis ini saling mendekat satu sama lain sambil melihat ke arahku dengan ketakutan, seolah mereka hendak ingin meminta maaf.

Mataku kemudian tertuju pada gadis mungil yang rambutnya dikepang, tapi gadis tersebut segera mengalihkan pandangannya, dan itu hampir membuatku menangis.

“Sial ….”

Aku berdesah, merebahkan tubuh ke atas meja dan menutup mataku. Semoga saja sekolah segera berakhir.

Sambil mendongkol sejak kelas dimulai, aku terus merebahkan tubuhku ke meja, meski begitu, tidak ada satu pun, termasuk guru, menegurku. Aku tidak bisa begitu saja langsung bangun, jadi aku terus menahan sakit di bahuku ini sampai kelas usai. Ah, aku capek.

******

Sesampainya di rumah, Ibuku bertanya, “Dari mana saja kamu kemarin?” lalu aku pun menjawab, “Berisik, bukan urusan Ibu!” seperti yang biasa dikatakan oleh remaja di masa memberontaknya. Ibu, ini hanya salah paham, aku juga ingin menjadi anak yang lebih baik, tapi aku tidak bisa menemukan waktu yang tepat.

“Oh.”

“Wuah.”

Saat hendak masuk ke kamarku di lantai dua, aku menabrak adikku yang masih memakai seragam sekolahnya yang baru saja keluar dari kamarnya.

“Yo, kamu sudah pulang.”

“Kamu ini sedang apa? Jangan bicara padaku, dasar sampah.”

Ucap adikku dengan dinginnya seperti ingin melampiaskan kemarahannya padaku. Rambutnya dipotong bergaya ‘bob’, mata di bawah poninya itu menatap ke ujung lorong, sama sekali tidak memperhatikanku.

Ini adik perempuanku, Yukiko Sakamoto. Dia akan lulus SMP di musim semi tahun depan.

Tubuh mungilnya mirip dengan ibuku; kami tidak terlihat seperti saudara kandung karena wajah cantiknya yang jauh berbeda denganku. Dia akan lebih populer andai dia lebih bersemangat. Sayangnya, dia mengikuti cara bicaraku yang kasar.

“Sebaiknya kamu tidak ceroboh lagi hari ini, dasar sampah.”

“Hmm? Hari ini?”

“Jangan berlagak bodoh setelah masalah yang kamu buat kemarin.”

“Eh ….”

Kemarin …? Tunggu.

“Yukiko! Kemarin kamu melihatku?!”

“Hah? Memangnya—”

“Apa yang sudah kulakukan kemarin?! Menurutmu seperti apa aku kemarin?”

Kugoyangkan bahu adikku yang terlihat curiga itu.

Tampaknya dia bertemu denganku kemarin.

“Kamu menanyakanku soal yang kamu lakukan kemarin?! Harusnya itu kamu tanyakan ke dirimu sendiri!”

“Sudah, beri tahu saja! Aku mau tahu soal pendapatmu tentang diriku!”

“Hah? Pen-pendapatku tentang dirimu …. Ini—”

“Kumohon! Katakan yang sejujurnya! Apa pendapatmu tentang diriku?!”

“…!”

Aku memaksanya dengan wajah serius yang belum pernah kuperlihatkan sebelumnya. Entah kenapa, wajah Yukiko memerah, bibirnya sedikit terbuka.

“Pen-pendapatku, i-itu, yah, kurasa kamu ke—”

“Hmm?”

Bicaralah yang jelas.

“Sudah kubilang, ku-kurasa ka-kamu ke—”

“Hei, kamu kenapa? Tidak enak badan?”

Yukiko terus tergagap, karena itu aku menggeser poninya ke samping dan menempelkan tanganku ke dahinya.

Mungkin karena sudah membuatnya gelisah, mata adikku jadi tampak berkaca-kaca saat dia menyingkirkan tanganku.

“Hei, ja-jangan sentuh aku, bajingan!”

Adikku berteriak sewaktu dia kembali ke kamarnya lalu mengunci diri di dalamnya.

Ibuku yang sedang memeriksa keadaan dari anak tangga, berteriak, “Kalian ini kenapa?”

“Berisik, perempuan tua!” aku berteriak balik lalu ikut mengunci diri ke kamarku juga.

Ada apa dengan Yukiko? Kenapa dia tidak cerita saja soal yang kulakukan kemarin?

“Huh, ya ampun ….”

Kulempar tasku ke pojokan lalu berbaring di atas kasur.

******

Ditelan oleh keheningan di dalam kamarku, sebuah rasa kantuk menyambarku.

Namun mendadak aku teringat insiden itu lalu mengambil tas yang kulempar tadi.

“Biar kulihat. Ah, aku ingat yang satu ini.”

Kuambil koran yang kubawa saat pulang ke rumah dan membalik halaman demi halamannya.

Ah, ketemu.

[Seorang murid perempuan SMA Takiou ditemukan tewas dalam sebuah kecelakaan]

Judulnya dibuat besar dengan memakai model aksara gotik. Aku mengecek ulang judulnya.

Berita kelam ini terletak di pojok berita lokal. Biasanya aku tidak membaca berita ataupun menonton tayangan di TV, tapi kali ini pengecualian.

“Jadi namanya Hikari Yumesaki, toh.”

Kugumamkan nama gadis yang telah tiada itu.

Kutarik laci meja belajarku dan mengambil sebuah buku saku murid yang compang-camping dari dalamnya. Pelan-pelan kubuka buku itu supaya tidak merusaknya, dan aku menemukan nama pada sebuah foto yang sobek lalu mencocokkannya.

Aku ingat yang terjadi kemarin. Tidak, maksudku kemarin lusa.

Gadis yang mati selagi hujan turun. Sejujurnya, aku tidak mau mengingat insiden semacam itu. Syukurlah, aku tidak sempat melihat wajahnya. Aku tidak mau melihat wajah yang ditunjukkan seseorang setelah kematiannya, terutama wajah seorang gadis.

—gunakan separuh masa hidupmu.

Suara yang dingin itu terlintas di benakku seperti hujan. Sinar matahari yang terbenam menembus tirai dan menyengat wajahku.

Siapa sebenarnya orang itu.

Sosok hening yang berjubah hitam itu.

keberadaannya mirip dengan fatamorgana yang tercipta dari hujan.

Ingatanku terasa begitu samar seolah mimpi-mimpi yang kualami saat kecil dulu tiba-tiba menjadi kenyataan.

‘Ayo,’ itu yang kukatakan padanya. Secara logika ini adalah hal yang mustahil. Kabar kematiannya telah disiarkan tanpa kepiluan.

Gadis itu sudah mati.

Sosok hening itu hanya fatamorgana yang disebabkan oleh hujan.

Aku menjadi sangat trauma oleh kematian gadis itu hingga aku kehilangan ingatanku di hari Minggu.

Tapi, apa hanya itu …?

“Apa memang aku yang aneh?”

Kata-kata yang kuucapkan tanpa sadar itu telah menghancurkan hatiku. Bukan itu.

Aku berdesah setelah memfokuskan perhatianku ke buku saku murid ini.

“Aku … harus mengembalikan ini …?”

Jika berita itu benar, buku saku ini harus dikembalikan ke keluarganya. Lagi pula, aku juga tidak punya urusan dengan buku ini.

Akan tetapi, aku tidak punya keberanian untuk mengembalikannya.

Soalnya, buku saku murid ini—

“… cih.”

Aku tidak tahu sudah berapa kali aku mendecakkan lidah di waktu senja ini. Kuatur tirai jendelaku agar tidak ada sinar matahari yang tembus dan mengenai kasur.

Aku tidak tahu, dan aku juga tidak mau tahu.

Dikelilingi oleh kesunyian, napas dan detak jantungku terdengar kencang di telingaku.

“Tewas dalam sebuah kecelakaan, ya.”

Aku kembali bergumam sembari menutup mata.

Jika aku tidur sekarang, sepertinya … aku tidak akan bisa bangun lagi.

Mungkin saja aku akan lupa ingatan lagi.

“Seharusnya tidak apa-apa, ‘kan?”

Aku mengatakannya dengan sangat santai, seakan menghibur diriku sendiri. Kesadaranku perlahan memudar bersama tipisnya tabir kegelapan.

Seolah aku melarikan diri dari hari ini.

Tidak apa-apa. Aku pasti akan baik-baik saja.

******

“Ini gawat.”

“Tunggu, aku sangat bersemangat sekarang, ‘game’ cewek ini cukup menarik.”

Ini hari Rabu.

Tidak, tunggu, itu tidak benar. Ini hari Kamis.

Tidak, ini hari Jumat …. Eh, bukannya ini hari Kamis? Argh, aku tidak peduli lagi!

Ini sekitar jam sembilan pagi, di tengah jam pelajaran pertama, dan kini aku berada di UKS.

Tentu saja alasannya bisa ditebak.

“Bu, sekarang jadi semakin parah. Aku kehilangan satu hari lagi dari ingatanku …. Matikan dulu TV-nya!”

“Tung-tunggu! Tokoh ini mirip seperti dirimu, Akitsuki. Dia kelihatan—”

“Lakukan kewajibanmu, bodoh!”

Kurebut ‘remote control’ TV itu lalu mematikannya. Kemudian kuberi tatapan wajah seram pada Higumo sebagai tanggapan untuk wajah cemberutnya. Dia pun langsung duduk ke kursinya.

“Ayolah. Omong-omong, dilihat dari bekas tanah yang ada padamu, kamu tertidur di kebun semangka lagi, ya?”

“Ya, aku tertidur di sana lagi.”

Kali ini, aku kembali terbangun di kebun semangka, dan kalender menunjukkan ….

“Ini hari Kamis.”

“Ya, ini hari Kamis.”

Aku kehilangan satu hari lagi dari ingatanku.

“Hohoho. Kamu menjadi terlalu intens, bukan? Kukira gara-gara itu kamu telah kehilangan semua ingatanmu. Berandal nomor satu di sekolah ini memang sesuai dengan reputasinya.”

“Aku harus apa? Ini tidak terlihat baik ….”

“Ah, eng, mana kalimat andalanmu …?”

Hal menakutkan ini terjadi lagi. Aku lupa ingatan, dan kutemukan diriku terbangun di kebun semangka lagi.

“Sensei, bicaralah yang serius, menurutmu ini apa? Ini hal yang buruk, ‘kan …?”

“Ya. Belum pernah kudengar ada orang yang lupa ingatan setiap selang hari. Apa ada yang kamu tahu? Misal, sebenarnya kamu adalah manusia buatan! Atau sesuatu yang mirip seperti itu.”

“Manusia buatan, ya. Begitu rupanya. Sekarang semuanya jadi masuk akal ….”

“Eh, hah? Apa kamu baru saja memperlihatkan sisi pikunmu …?”

“Hahaha, jadi begitu. Ternyata aku bukan manusia.”

“Maaf, aku akan lebih serius lagi. Tolong kembali seperti kamu yang biasanya, Akitsuki.”

Higumo mengencangkan selendangnya lalu mengambil sebuah buku dari rak besi.

“Setelah kamu pergi, aku mulai mencari informasi tentang amnesia. Tapi di sana tidak ada kasus orang yang lupa ingatan setiap selang hari.”

“Aku tahu. Itu artinya kalau aku ini manusia buatan.”

“Eng, aku benar-benar minta maaf soal itu …. Omong-omong, aku menemukan sebuah kemungkinan lain.”

“Kemungkinan lain?”

Higumo mengangguk saat dia membuka halaman pada buku tebal itu.

Istilah yang tertulis di sana ….

“Gangguan identitas disosiatif?”

“Betul, dan itu juga dikenal sebagai gangguan kepribadian ganda.”

Kepribadian ganda?

Istilah ini menggema di kepalaku bagaikan bunyi gong.

“Inilah yang tertulis pada kasus gangguan kepribadian disosiatif. Untuk melindungi kondisi mental mereka, manusia memilih untuk menyegel ingatan menyedihkan mereka. Kasus seperti ini jarang terjadi. Selama itu, ingatan yang tersegel akan menjadi kepribadian lainnya setelah dipicu oleh sesuatu, dan gejala ini disebut ….”

“Gangguan kepribadian disosiatif.”

“Betul.”

Higumo kembali mengangguk sembari mengambil cangkir dari atas meja. Aku menaruh perhatianku pada kata-kata yang tercetak di buku itu, Sutera, ya? Nama yang manis. Aku baru saja mengingat hal yang tidak perlu ….

“Apa kamu tahu sesuatu?”

“Tidak.”

Andaikan aku punya, aku akan dengan senang hati menyegel ingatan minggu terakhir ini beserta berbagai hal yang tidak perlu kupelajari.

“Begitukah? Tapi jika keadaanmu tetap seperti ini, kamu perlu untuk terus waspada. Karena menurut buku ini, ada keadaan ketika kepribadian pengganti akan muncul lebih sering dan mengambil alih tubuh pemilik aslinya.”

“—hah?”

Aku tercengang oleh kata-kata menakutkan itu.

Tahan dulu di situ.

Ada apa sebenarnya ini? Eh, tentang apa itu?

Eh?

“Mungkin hal ini masih bisa keliru. Jadi, sebaiknya kamu segera pergi ke rumah sakit.”

“….”

“Akitsuki?”

“… aku ….”

“Akitsuki …, kamu menangis?”

“… sampah ….”

“Eh?”

“Aku masih punya banyak hal … yang belum aku lakukan ….”

“Contohnya?”

“Aku ingin menyetuh gadis-gadis ….”

“Kamu perlu mengendalikan sisi berandalmu ….”

“Argh …. Kenapa aku bisa jadi berandal ….”

“… gejala berat, ya?”

“Sial ….”

Aku tidak begitu ingat apa yang terjadi selanjutnya.

Yang kuingat adalah Higumo menasehatiku supaya pergi ke rumah sakit. Tapi aku mengabaikannya.

Aku keliru mengira jalan keluar dari UKS dan justru menarik pintu kelasku kuat-kuat. Guru beserta murid-murid di kelas terkejut, tapi aku abaikan mereka lalu menutup pintu.

Aku terlihat seperti pengecut, ‘kan? Aku bahkan tidak tahu yang sedang kulakukan ini.

*******

Aku meninggalkan sekolah secepatnya dan berkeliaran di sekitar kota selama sejam.

Pada akhirnya aku berhenti di kebun semangka, berjongkok, lalu menangis.

“Waaahhhh!”

Orang-orang yang lewat mungkin berpikir kalau aku ini orang gila.

Langit di atas tampak luar biasa cerah.

******

Saat itu sekitar senja.

Aku pulang ke rumah setelah air mataku kering.

“Kenapa lama sekali? Apa saja yang kamu lakukan, sampah?”

“Aku pulang. Ibu mana?”

“Ibu masih kerja. Kalau kamu sudah paham situasinya, sebaiknya mulai membuat makan malam. Aku akan membantumu untuk hari ini saja.”

“Hah?”

Adikku sudah memakai celemek, dan dalam keheranan, kuamati dirinya.

Dia tiba-tiba jadi lebih feminin. Tapi dia akan terlihat lebih bagus kalau sedikit berisi.

“A-ada apa denganmu, sampai melihatku seperti itu? Menjijikkan. Jangan lihat-lihat!”

“Yukiko, syukurlah aku menjadi kakakmu.”

“Eh …. Aku tidak paham maksud ucapanmu?!”

“Aku minta maaf untuk semua yang telah kulakukan sampai sekarang.”

“Kamu ini bicara apa—?!”

Aku tiba-tiba mengekspresikan rasa sayangku pada adikku, dan siap untuk dibenci. Ah, ini terasa hangat dan lembut.

“Bodoh! Ka-kamu ini kenapa! Ka-Kakak?!”

“Terima kasih, ya, Yukiko.”

Aku pererat pelukanku.

“Ka-Kakak ….”

Aku peluk dirinya sekitar dua puluh detik, kemudian kulepaskan dengan lembut. Liur adikku sudah menetel sembari matanya berbinar, dan dia lalu kembali ke kamarnya.

“A-aku harus menulis itu di blog-ku …. Tidak, sebaiknya aku menulis kerangkanya dulu ….”

Adikku pun kemudian menghilang di balik pintu.

Blog? Apa itu?

Yah, lupakan dulu tentang itu. Kata-kata dari adikku tadi membuatku jadi terpikir.

“Benar, sebuah catatan harian.”

Aku masuk ke kamarku dan mengunci pintu.

Kututup tirai jendelaku dan mengunci semua celah yang ada. Dengan mengandalkan lampu belajar di atas meja kayuku, kuambil sebuah pulpen dalam ruang gelap ini.

Kubuka buku catatan baru di samping meja. Untuk beberapa saat, pandanganku tertuju pada halaman yang kosong.

… eh …. Ah ….

Aku tidak bisa memikirkan hal yang mau kutulis. Jika seperti ini, yang paling penting adalah menulis sesuatu dan mengikuti alirannya.

Aku menulis sesuai dengan yang kupikirkan sekarang. Pulpenku menari-nari di atas kertas seiring musik latar yang mengalun.


Kepada: diriku yang lain.

Ini mungkin akan jadi kata-kata terakhirku.

Yo, apa kabar? Bagaimana rasanya di dalam tubuhku selama hari Senin dan Rabu? Tampaknya kamu sudah mengambil alih tubuhku.

Yah, aku tidak peduli lagi.

Maaf, aku tidak bermaksud begitu. Ini sangat konyol.

Tapi aku menyerah. Tubuh ini hanya menyebabkan masalah untuk keluarga dan orang sekitarku. Kamu boleh memiliki tubuh ini.

Tapi, aku punya satu permintaan terakhir.

Tolong lindungi adikku, dia lebih penting dari hidupku.

Juga, sapa orang tuaku, dan sampaikan terima kasihku pada mereka karena sudah membesarkanku.

Yah, itu saja. Akan aku serahkan sisanya padamu.

Oh, iya. Ada sesuatu yang mau kuberikan padamu. Ada folder ‘anime’ tersembunyi di komputerku. Terserah mau kamu apakan itu.

Kata sandinya, ‘Ookiihaseigi’. (Besar adalah keadilan)

Dah, diriku yang lain.

Dari: Akitsuki Sakamoto


“Fiuh.”

Setelah selesai menulis, kuletakkan buku catatanku itu di tengah meja agar menarik perhatian. Sebuah desahan kemudian keluar dengan antusias.

Aku tidak punya penyesalan.

Aku tidak menyesal sedikit pun.

Kutegaskan hal itu pada diriku sendiri sembari berbaring di kasur.

Tidak, paling tidak harusnya aku menyantap makan malam terakhir bersama adikku dulu.

Setelah berubah pikiran, kuketuk kamar adikku dan memintanya untuk makan malam bersamaku.

Setelahnya, aku pun mandi, dan ternyata sudah waktunya untukku tidur. Pikiranku mulai tertelan dalam rasa kantuk.

Selamat tinggal semuanya.

Kuucapkan salam perpisahan dengan sesederhana mungkin sebelum saat-saat terakhirku tiba. Kesadaranku lalu hanyut kedalam kegelapan.

On that night, I entered a deep sleep I never had before.

Pada malam itu, aku tertidur dengan amat lelap.

******

“… Sabtu.”
Aku terbangun seperti biasanya.

Kalender di ponsel-ku memberitahuku kalau aku telah melompati hari lagi.

Hanya saja, hari ini aku tidak bangun di kebun semangka lagi seperti yang sebelumnya.

Ditambah.

“Ini pasti bercanda.”

Buku catatan itu memang berada di atas meja, tapi penempatannya jelas berbeda dari yang kuletakkan kemarin.

Buku catatannya kini berada di dekat lampu belajar. Seperti dengan jelas menunjukkan padaku bahwa aku harus membacanya.

Aku tidak punya waktu memikirkannya lagi.

Rasa tanggung jawab yang aneh ini membuatku resah. Aku pun membuka buku itu dengan terburu-buru.

Dan di situ tertulis—

“… bajingan berjubah hitam itu”

Akhirnya aku tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Jati diri sebenarnya dari suara hujan yang telah berada di pikiranku sejak hari itu.

“Jadi ini yang dimaksud dengan ‘separuh’ itu?”

Aku tumbang dengan lemas di kasurku layaknya boneka yang benangnya terputus.

Aku tidak tahu apa aku harus tertawa atau menangis.

Kupegangi kepalaku, tanpa tahu harus melakukan apa saat melihat kata-kata yang tertulis dalam buku catatan itu.


Kepada: Akatsuki Sakamoto

Apakah kamu diriku yang lain?

Dari: Hikari Yumesaki



Tidak ada komentar:

Posting Komentar